Kamis, 26 Maret 2015

Ini Modus Kecurangan Rumah Sakit

bpjs-kesehatan

Kasus kecurangan (fraud) pengajuan klaim oleh rumah sakit selama 2014 tidak dibantah oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Meskipun begitu nilai kecurangan mereka anggap masih batas wajar. Belum masuk tahap yang bisa mengancam keuangan badan usaha milik publik itu.

 Direktur Pelayanan BPJS Fajriadinur mengatakan mereka bisa melihat ada kecurangan itu, ketika nilai total klaim selama 2014 lebih tinggi dibanding proyeksi aggaran mereka. Data sepanjang 2014 lalu, total klaim yang dibayar BPJS mencapai sekitar Rp 42,6 triliun.

“Ada selisih 2 persen. Tetapi penyumbang terbanyak selisih itu karena jumlah peserta membludak,” jelas dia.
Terkait dengan kecurangan pengajuan klaim BPJS Kesehatan, Fajriadinur mengatakan mereka telah menjatuhkan sanksi kepada empat rumah sakit. Keempat rumah sakit itu diputus kontraknya karena dianggap melakukan kesalahan yang berulang-ulang.

Kesalahannya seperti masih mengutip uang dari peserta BPJS Kesehatan. Padahal semua biaya kesehatan peserta sudah ditanggung oleh BPJS. Kesalahan lainnya terkait dengan pengajuan klaim. Fajriadinur menuturkan sudah menegur keempat rumah sakit itu tetapi mereka masih membandel.

“Sesuai dengan kode etik, saya tidak bisa menyebutkan nama rumah sakit itu,” tegasnya. Dia hanya mengatakan dua diantara empat rumah sakit itu ada di pulau Jawa. Sedangkan dua lainnya ada di Kalimantan dan Sumatera.

Fajriadinur mengatakan sistem BPJS Kesehatan sudah mengantisipasi adanya kecurangan atau fraud. Antisipasi kecurangan yang bisa berujung dana BPJS untuk bancakan rumah sakit dan tenaga kesehatan itu dibuat dalam beberapa lapis.

Pertama adalah setiap rumah sakit yang berkongsi dengan BPJS Kesehatan diminta untuk membuat unit anti fraud. Unit ini akan melihat apakah klaim-klaim yang diajukan oleh rumah sakit sesuai dengan ketentuan atau tidak.

Lantas muncul pertanyaan, unit anti fraud itu akan bias pengawasannya karena mengawasi insitusi rumah sakitnya sendiri. “Kita sudah buatkan antisipasi dengan membentuk tim kendali mutu dan biaya,” jelas Fajridinur. Tim kendali mutu dan biaya ini terdiri dari unsur klinisi profesi (organisasi profesi) dan akademisi.
Tim itu akan mengaudit nominal klaim yang diajukan rumah sakit. Mereka akan mengetahui nominal klaim rumah sakit itu wajar atau tidak.

Fajriadinur menjelaskan wujud kecurangan dalam pengajuan klaim layanan medis BPJS Kesehatan banyak jenisnya. Diantaranya adalah klaim-klaim tindakan medis yang dipecah-pecah. Misalnya kwitansi untuk biaya kamar, tarif obat, hingga ongkos dokter.

Namun pemerintah sudah menjalankan sistem Indonesian Case Base Groups (Ina-CBG”s). Melalui sistem itu klaim yang diajukan rumah sakti wujudnya dalam satu paket. “Misalnya paket sakit tifus, paket operasi cesar, dan paket-paket lainnya,” ujar Fajriadinur.

Dengan sistem paket ini, pasien akan dirawat satu hari atau bahkan lima hari, nominal klaimnya akan sama. Termasuk juga dengan jenis obat-obatan yang dipakai, sudah disesuaikan dengan peket penyakitnya.

Potensi kecurangan lainnya adalah phantom billing. Kecurangan jenis ini dilakukan rumah sakit dengan membuat kasus perawatan siluman (awu-awu). Contohnya salah satu RS selama Januari 2014 aslinya hanya melayani satu pasien BPJS Kesehatan dengan keluhan penyakit tifus.

Tetapi dalam klaim yang diajukan ke BPJS Kesehatan, dibuat billing siluman seakan-akan ada lebih dari satu pasien penyakit tifus di bulan yang sama.

Fajriadinur juga menjelaskan wujud kecurangan lainnya adalah membuat diagnosis yang dibesar-besarkan atau diparah-parahkan. Dengan cara ini rumah sakit akan mendapatkan uang klaim dari BPJS Kesehatan sangat besar, karena penyakitnya masuk kategori parah.

Rumah sakit jelas mendapat untung, karena tindakan medis yang dia lakukan tidak berbiaya mahal. Sebab jenis penyakitnya bukan skala parah. “Kita minta para dokter atau rumah sakit jujur dalam membuat diagnosa di form pengajuan klaim,” tandasnya.

Potensi kecurangan klaim BPJS Kesehatan juga diakui unsur rumah sakit. Direktur Utama RS Pelni Jakarta Fathema Djan Rachmat mengatakan potensi kecurangan itu sekitar 5 persen hingga 10 persen.

“Jika total klaim BPJS Kesehatan dalam setahun sampai Rp 40 triluin, potensi fraud-nya antara Rp 2 triluin sampai Rp 4 triliun,” tandasnya saat menjadi pembicara seminar Dies Natalis Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia Selasa lalu (24/2).

Memang potensi kecurangan itu belum terbukti di Indonesia. Potensi kecurangan klaim asuransi nasional itu merupakan hasil penelitian di negara-negara yang menjalankan program asuransi nasional seperti BPJS Kesehatan. Untuk mencegah terjadinya kecurangan itu, Fathema mengatakan telah membentuk unit anti fraud di RS Pelni Jakarta.






sumber

0 komentar:

Posting Komentar